Egosentrisme merupakan paham yang menjadikan diri sebagai standar segala hal. Egosentrisme biasanya menjadikan seseorang hanya melihat suatu kebenaran dari sisinya dengan mengabaikan yang lain. Konsep semacam ini semestinya harus dihindari karena akan membuat orang sombong, angkuh dan tidak mau menerima kebenaran. Salah satu ciri orang yang memiliki paham egosentrisme adalah susah mengakui kesalahan dan meminta maaf ketika salah serta mencari pembenaran untuk kesalahannya. Meminta maaf adalah hal mudah yang menjadi sulit ketika egosentrisme tetap ada.
Egosentrisme jauh dari sifat rendah hati karena lebih dekat pada kesombongan. Menganggap segala perbuatannya benar sehingga menghilangkan nilai hakikat manusia biasa yang tidak luput dari salah. Egosentrisme dapat menjadikan seseorang meremahkan sesuatu karena kesalahan yang dilakukan dapat dicari pembenarannya. Kebenaran yang harus disesuaikan dengan persepsinya menciptakan perilaku negative thinking terhadap orang lain. Lawan dari egosentrisme adalah altruisme.
Egosentrisme dapat berakar dari berbagai faktor, termasuk lingkungan keluarga, pengalaman masa kecil, dan budaya sosial yang mendorong individualisme. Dalam masyarakat modern, di mana kompetisi sering kali dianggap sebagai kunci keberhasilan, egosentrisme bisa semakin diperkuat. Masyarakat yang sangat fokus pada pencapaian pribadi dan pengakuan sering kali menciptakan iklim di mana orang merasa tertekan untuk selalu menjadi yang terbaik, tanpa memperhatikan dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Ketika egosentrisme merajalela, hubungan interpersonal dapat menjadi dangkal, dan rasa empati dalam masyarakat bisa berkurang.
Namun, penting untuk diingat bahwa sikap egosentris tidak selalu bersifat negatif. Dalam beberapa konteks, misalnya ketika menghadapi tantangan atau krisis, fokus pada diri sendiri bisa menjadi mekanisme perlindungan yang diperlukan. Menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan diri adalah hal yang penting. Namun, keseimbangan antara merawat diri dan memperhatikan orang lain adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang sehat dan produktif.
Altruisme merupakan antonim dari egosentrisme dimana paham ini lebih mengedepankan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri. Orang seperti ini lebih bisa berbaur dengan lingkungan sosial karena dapat lebih diterima. Mengedepankan kepentingan orang lain harus logis dan bukan karena fanatisme sehingga tidak masuk kedalam egosentrisme. Fanatisme terjadi ketika seseorang tidak memandang apa yang dilakukan benar atau salah.
Dalam konteks psikologi, altruisme sering dikaitkan dengan empati, yaitu kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Individu yang memiliki tingkat empati tinggi cenderung lebih mampu berperilaku altruistik, karena mereka dapat melihat dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan altruistik tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional bagi pemberi. Keterlibatan dalam kegiatan sosial atau sukarela dapat meningkatkan rasa tujuan hidup dan kepuasan diri.
Meskipun altruisme dianggap sebagai sifat positif, penting untuk mencatat bahwa dalam beberapa kasus, tindakan altruistik dapat berpotensi merugikan individu itu sendiri jika tidak diimbangi dengan perhatian terhadap kebutuhan pribadi. Misalnya, seseorang yang selalu mengutamakan kebutuhan orang lain tanpa memperhatikan kesejahteraan diri bisa mengalami kelelahan atau burnout. Oleh karena itu, menciptakan keseimbangan antara altruisme dan perawatan diri sangat penting untuk menjaga kesehatan mental.
Perbandingan antara egosentrisme dan altruisme mencerminkan dua kutub dalam cara individu berinteraksi dengan dunia dan orang-orang di sekitar mereka. Egosentrisme berfokus pada pencapaian pribadi dan keuntungan individu, sementara altruisme mengutamakan perhatian dan kepedulian terhadap orang lain. Dalam banyak situasi, sikap egosentris dapat menimbulkan ketegangan dan konflik, karena orang merasa diabaikan atau tidak dihargai. Sebaliknya, altruisme dapat menciptakan ikatan sosial yang kuat, meningkatkan solidaritas dan kolaborasi dalam komunitas.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa egosentrisme dan altruisme tidak selalu saling eksklusif. Dalam kenyataannya, individu dapat menunjukkan karakteristik kedua sikap ini tergantung pada konteks dan situasi. Misalnya, seseorang mungkin bersikap egosentris dalam situasi kompetitif di tempat kerja, tetapi menjadi sangat altruistik ketika berada di lingkungan sosial atau komunitas. Kesadaran akan keberadaan kedua sifat ini dalam diri kita dapat membantu kita melakukan refleksi diri dan berusaha untuk meningkatkan sikap altruistik, terutama dalam situasi di mana orang lain membutuhkan dukungan.
Egosentrisme dan altruisme adalah dua sikap yang sangat berpengaruh dalam membentuk interaksi sosial dan hubungan antarindividu. Memahami perbedaan antara keduanya dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kita berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Meskipun egosentrisme dapat berfungsi sebagai mekanisme perlindungan dalam situasi tertentu, altruisme membawa banyak manfaat bagi individu dan masyarakat. Dengan menumbuhkan sikap altruistik dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya dapat memperbaiki hubungan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih baik, lebih empatik, dan lebih saling mendukung.