Pengkultusan, khususnya yang berbalut agama, merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dibahas. Dalam konteks ini, pengkultusan biasanya merujuk pada perilaku menempatkan seseorang, kelompok, atau pemimpin agama pada posisi yang dianggap sangat tinggi, bahkan melampaui akal sehat. Praktik ini seringkali mengarah pada pengagungan tanpa kritis, di mana ajaran dan tindakan sosok yang dikultuskan dianggap benar dan tak terbantahkan.

Fenomena pengkultusan berbalut agama memiliki berbagai implikasi. Pertama, ia dapat menciptakan pola pikir yang cenderung dogmatis dan tertutup. Dalam situasi ini, pengikut kultus seringkali menerima perintah atau ajaran tanpa pertanyaan, seolah-olah setiap kata dan tindakan pemimpin adalah manifestasi kehendak ilahi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya sikap kritis, sehingga mereka lebih rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi. Banyak kasus di mana pengikut suatu kultus bersedia melakukan tindakan ekstrem, bahkan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, hanya karena terikat oleh keyakinan terhadap pemimpin mereka.

Kedua, pengkultusan juga dapat menciptakan kesenjangan sosial. Seringkali, pemimpin kultus ditempatkan pada posisi yang dianggap “suci” dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya. Ini dapat menyebabkan munculnya hierarki sosial yang tidak adil dan membuat para pengikut merasa tidak berdaya. Pemimpin yang dikultuskan seringkali memanfaatkan posisinya untuk mengontrol dan mengekang kebebasan pengikutnya.
Namun, perlu diakui bahwa fenomena pengkultusan juga memiliki akar budaya dan psikologis. Dalam situasi ketidakpastian atau kekacauan, manusia cenderung mencari sosok yang dianggap memiliki jawaban atas masalah mereka. Sosok yang tampil karismatik, membawa narasi keagamaan yang kuat, dan memberikan harapan seringkali menjadi magnet bagi mereka yang mencari kepastian. Inilah yang kemudian memicu terjadinya pengkultusan.

Di sinilah pentingnya pendidikan agama yang kritis dan rasional. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya berfokus pada ajaran dan ritual, tetapi juga pada pengembangan sikap kritis dan kemampuan untuk menganalisis ajaran dan tindakan pemimpin agama. Dengan begitu, umat dapat menjadi lebih bijak dalam menentukan sikap dan tidak mudah terjerumus ke dalam pengkultusan yang menyesatkan. Agama seharusnya menjadi pemandu moral, bukan alat untuk menciptakan kultus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *